Hidup ini memang bagai roda yang
berputar. Terus berputar dan berputar. Banyak yang terjadi dalam hidup ini.
Sulit untuk menghadapi hidup yang semakin tak menentu arah. Ada sisi buruk dan
ada pula sisi baik di dunia ini. Akan tetapi, mungkin hanya segelintir saja
sisi baik di dunia ini dibandingkan dengan sisi buruknya.
Hal ini berbeda dengan seorang gadis
remaja yang belum mengerti apa-apa tentang dunia ini, tetapi dia mempunyai
pemikiran yang sangat istimewa.
Andai saja mata ini dapat menjadi
sebuah kamera. Sebuah alat yang digunakan untuk mengambil berbagai gambar apa
pun. Seluruh pandangan yang terlihat oleh mata ini, dari lahir sampai sekarang
dapat terekam dengan jelas dan mudah untuk melihatnya kembali. Melihat segala
kejadian yang terpotret oleh mata ini. Apa pun itu, baik dalam kehidupan
sehari-hari, aktifitas masyarakat sekitar, perbuatan baik atau pun buruk. Semua
itu dapat terambil dengan baik oleh mata ini, tak usah repot menggunakan kamera
lagi.
Akan tetapi, semua itu hanyalah
mimpi. Hal itu sangat mustahil. Mata tidak mungkin bisa menjadi kamera. Mata
tetaplah mata, suatu alat indera yang ada dalam tubuh ini. Tidak akan bisa mata
mengambil dan menghasilkan gambar seperti kamera. Seharusnya tidaklah mimpi
aneh di siang bolong.
Seorang gadis memanyunkan bibirnya.
Kira-kira usianya 17 tahun. Dia merasa kesal karena pikirannya takkan mungkin
menjadi kenyataan. Tidak akan mungkin mata dapat menjadi kamera yang
menghasilkan gambar.
“Dasar bodoh!” gumamnya pada diri sendiri,
merutuki dirinya.
Gadis itu memandangi sebuah toko
kamera. Pandangan matanya tak bisa lepas dari kamera yang terpajang di depan etalase
toko itu. Ingin sekali dia memilikinya. Akan tetapi, itu mustahil baginya.
“Hei! Ngapain kamu di sini! Mau mencuri ya!” hardik seseorang yang
sepertinya pegawai toko kamera pada gadis itu.
Gadis itu terlonjak kaget. Dia
memang sudah dari tadi berada di depan toko itu, tapi sama sekali tak ada
niatnya untuk mencuri kamera. Pegawai itu memandanginya dari ujung kepala
hingga ujung kaki. Gadis itu tampak kucel, rambut panjangnya berantakan,
pakaiannya pun kotor.
“Jawab! Kamu pasti mau mencuri!”
Gadis itu diam saja di tempatnya
berdiri. Dia tidak merasa malu atau pun takut karena dia merasa tak bersalah
sama sekali.
“Kamu tidak punya mulut untuk jawab apa!”
hardiknya lagi dengan lebih kasar, “sudah, sana pergi! Jangan coba-coba mencuri
di sini! Dasar pengemis!”
Gadis itu sudah tak tahan lagi. Dia
menggerakkan kedua tangannya secara perlahan, agar pegawai itu dapat mengerti.
Kedua tangannya digerakkan membentuk silang sambil menunjuk kamera di toko itu
dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memberikan isyarat dengan tangan dan
mimik wajahnya.
Pegawai itu teperangah melihat apa
yang gadis itu lakukan. Meskipun dia sedikit bingung dengan yang dimaksudnya,
akhirnya dia dapat memahaminya.
“Kamu… tidak bisa bicara?” tanyanya
dengan pelan, masih tampak tak percaya.
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
Dengan isyarat tangannya, dia berkata, “Meskipun aku tidak bisa bicara dan aku
hanyalah anak jalanan, aku sama sekali tak punya niat untuk mencuri. Aku memang
sangat ingin mempunyai kamera, tapi aku tidak punya uang. Meski begitu, aku
tidak akan pernah mencurinya.”
Pegawai toko itu masih tampak tidak
percaya menatap gadis remaja yang tidak bisa bicara di hadapannya itu. Dia
sedikit mengerti yang dikatakan gadis itu, walau dengan bahasa isyaratnya. Gadis itu begitu
lugu dan polosnya. Terpancar jelas di wajahnya yang begitu teduh, meski wajahnya
agak kucel.
“Kenapa kamu ingin punya kamera?
Memangnya kamu mengerti cara menggunakannya?” Pegawai itu sudah mulai melunak,
tidak berkata kasar lagi.
“Aku sangat menyukai foto. Aku ingin
bisa menghasilkan berbagai hal yang terjadi di dunia ini dari kamera. Apa pun
itu, segala hal yang aku lihat dan alami selama hidup ini,” jelasnya dengan kembali
menggunakan bahasa isyarat, “aku bisa mengerti sedikit cara menggunakannya,
kalau aku mau mempelajarinya pasti aku akan mengerti. Walaupun itu sangat
mustahil. Uang saja tidak punya, bagaimana bisa aku membeli kamera itu. Aku
hanya bisa memandangi kamera di depan toko ini saja.”
Pegawai itu takjub dengan pemikiran
anak jalanan seperti gadis bisu itu. Dia sendiri tidak pernah mempunyai pikiran
untuk mengabadikan segala hal yang dia alami dalam hidupnya. Baginya, mengambil
gambar yang bagus dan menarik adalah motto
hidupnya. Dia tak pernah melirik hal-hal yang menurutnya tak menarik. Padahal
segala yang terjadi dalam hidup ini sangat berarti dan menarik untuk
diabadikan.
“Kamera ini untukmu saja, ini hadiah
dariku untuk pemikiran hebatmu,” ucap pegawai itu sambil memberikan kamera yang
sedari tadi dipandangi gadis itu, membuat gadis itu sangat bingung. “Sebenarnya
aku bukanlah pegawai toko ini, tapi aku pemilik toko kamera ini,” ucapnya lagi
dengan menggunakan bahasa isyarat, sambil tersenyum tulus.
Gadis itu terlihat begitu senang dan
bahagia. Ternyata pemikirannya bukanlah mimpi lagi baginya. Kini dia telah
mempunyai sebuah kamera. Itu bukanlah mata seperti yang dipikirkannya, tapi itu
benar-benar kamera untuk mengambil berbagai gambar yang terjadi dalam kehidupan
ini. Meskipun dia hanyalah anak jalanan yang tidak bisa bicara, tapi impiannya
untuk mengabadikan segala kehidupan ini akan menjadi kenyataan.
Cerpen ini termasuk salah satu 100 nominasi Sayembara Cerita Mini Internasional Indonesia Yaman, dibukukan dalam buku Simfoni Balqis dengan judul yang sama seperti cerpen ini, yaitu "Mata Hati Kamera".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar