Rabu, 20 Agustus 2014

Yang Terbaik (cerpen)


  Keajaiban. Apa itu keajaiban? Aku tak percaya dengan itu. Keajaiban hanyalah diberikan untuk orang-orang yang hanya mengharapkan harapan kosong. Keajaiban tidak pernah ada. Itu hanyalah omong kosong belaka. Tidak mungkin ada orang yang sudah meninggal dapat hidup lagi. Dan tidak mungkin orang yang mempunyai penyakit mematikan dapat sembuh dan sehat kembali. Itu sungguh mustahil.
        Kini, aku hanya bisa duduk termangu dengan tatapan kosong di balik jendela kamar sambil memandangi awan gelap di langit sana, segelap hatiku. Padahal aku masih 17 tahun, tapi masalah dalam hidupku datang bertubi-tubi, seakan tak ada habisnya. Orang tuaku selalu bertengkar dari aku kecil hingga sekarang aku telah beranjak remaja. Hanya karena hal sepele, mereka selalu bertengkar. Mereka tidak pernah memikirkan perasaanku dan kakakku. Bukan hanya itu masalah dalam hidupku. Baru-baru ini, aku baru saja mengetahui kalau aku mempunyai penyakit mematikan, penyakit kanker otak. Hatiku sungguh hancur mengetahui kenyataan pahit ini. Memang penyakit itu belum parah, tapi kata dokter, harapan hidup aku tidak akan lama lagi. Aku sering bertanya-tanya, kenapa Tuhan memberikan cobaan seberat ini. Kalau memang Engkau ingin aku mati cepat, kenapa tidak dari dulu atau sekarang juga? Kenapa?
Aku tidak kuat menjalani hidup ini lagi. Orang tuaku tak pernah peduli denganku. Dan kakakku, dia malah sering pergi meninggalkan aku sendirian di rumah. Aku merasa hidupku telah hancur. Tak ada lagi harapan atau pun keajaiban. Tak ada.
"Kamu ini seperti itu saja tidak benar! Ibu macam apa itu!" kata seorang Bapak dengan nada tinggi.
"Kamu yang seenaknya saja! Kamu saja tidak benar mengurus apa-apa!" kata seorang Ibu tidak kalah tinggi suaranya.
"Kamu itu yang tidak becus! Malah menyalahkan saya!"
"Kamu yang tidak mau disalahkan!"
Aku menutup kedua telingaku yang terasa panas setiap mendengar orang tuaku bertengkar, aku berusaha menahan air mata yang segera menyerebak keluar. Aku tidak tahan selalu mendengar pertengkaran orang tuaku. Hatiku sangat sakit. Aku langsung keluar dari kamar, berlari keluar rumah. Aku tidak tahan lama-lama ada dalam rumah itu. Aku tidak peduli lagi dengan panggilan kedua orang tuaku. Aku tidak peduli. Aku berpikir, lebih baik aku mati sekarang saja daripada seperti ini terus.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali, sungguh bagaikan ditimpa batu besar berton-ton. Aku juga merasakan ada yang mengalir keluar dari hidungku. Aku sentuh itu, dan aku terkesiap melihat darah itu. Apa penyakitku juga sudah tambah parah?
Tinnnnn.....
Aku kaget mendengar suara klakson mobil. Orang dalam mobil itu langsung turun dan menghampiriku. Seorang laki-laki seusia denganku.
"Hehh! Mau mati ya!" katanya dengan nada tinggi. "Kalau mau mati jangan depan mobil aku dong! Nanti aku yang dapat masalah!"
"Si...siapa juga yang mau mati!" kataku pelan, berusaha menahan rasa sakit di kepalaku.
"Terus mau ngapain di tengah jalan kayak gini?" katanya lagi masih dengan nada tinggi. Beberapa detik kemudian, dia baru menyadari sesuatu. "Eh, kamu mimisan ya? Kenapa?"
"...Tidak apa-apa kok," jawabku sambil menghapus darah di hidungku itu.
"Sini deh, lebih baik kamu duduk dulu. Aku tahu, mimisan kamu itu tidak main-main. Pasti kamu mempunyai suatu penyakit mematikan, kan?" katanya dengan nada pelan, sambil menarik tanganku untuk duduk di pinggir trotoar.
"Dari mana kamu tau?” tanyaku, setelah duduk di pinggir trotoar bersamanya.
"Ya keliatan sih dari muka kamu yang pucat dan stres gitu!" jawabnya sambil menatap wajahku. "Terus ngapain kamu di tengah jalan gitu? Mau bunuh diri?"
Aku terdiam. Mungkin benar katanya, aku mau mengakhiri hidupku lebih cepat. Agar aku bisa terbebas dari semua beban ini.
"Kenapa diam? Aku benarkan, kamu mau bunuh diri?" katanya lagi, lalu menghela nafasnya. "Eh dengar ya, bunuh diri itu tidak akan mengakhiri apa pun. Bunuh diri malah akan menyebabkan masalah baru. Kamu malah mengecewakan banyak orang yang menyayangimu."
Aku terdiam lagi. Kata-katanya begitu menusuk. Tapi...
"Kamu tidak tahu apa-apa tentangku! Jangan sok tau deh!" kataku dingin. "Aku tidak punya orang yang menyayangiku, tak ada yang peduli lagi denganku!"
"Kamu berpikir begitu?" tanyanya tidak yakin.
Aku mendengus sebal. "Aku tau diriku sendiri!"
Laki-laki itu malah tertawa, membuatku tambah kesal saja.
"Kamu berpikir begitu?" tanyanya lagi disela tawanya. "Eh, ada yang jauh lebih tahu diri kamu, diriku, dan semua makhluk yang diciptakan-Nya. Dia jauh lebih tahu dari dirimu sendiri karena Dia yang menciptakanmu," katanya dengan nada serius, tidak tertawa lagi.
Aku terdiam lagi. Laki-laki ini benar, ada yang jauh lebih tahu diri aku daripada diriku sendiri. Aku merasa menyesal telah seperti ini.
"Kamu pasti selalu mengeluh ya?" tanyanya lagi sambil menatap lurus ke depan. "Dengar, tidak ada untungnya mengeluh terus. Seharusnya kamu bersyukur masih bisa hidup layak. Tapi di luar sana, ada lebih banyak orang yang lebih kesusahan. Yang mempunyai masalah lebih berat. Bukan hanya kamu yang mempunyai masalah."
Aku kembali terdiam. Semua kata-katanya sangatlah benar.
"Aku memang tidak tahu apa masalahmu. Tapi menurutku, apa pun masalahmu itu pasti ada jalan keluarnya. Jangan malah mengakhirinya dengan bunuh diri. Kamu pasti tahu Tuhan sangat membenci umat-Nya yang bunuh diri," katanya lagi yang berusaha menyadarkan aku, "dan satu lagi, sekarang belum saatnya kamu pergi. Kita tidak tahu kapan kita akan pergi dari dunia ini, hanya Tuhan yang mengetahui itu. Sekarang lebih baik kita berusaha mengisi hidup ini dengan sebaik-baiknya."
Tanpa terasa air hangat telah membasahi pelupuk mataku. Aku sungguh bodoh, berpikir ingin mengakhiri hidupku, padahal itu belum saatnya. Ada tiba saatnya nanti, saat aku benar-benar harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
"Te...terima kasih ya, kamu telah menyadarkanku," ucapku pelan, kemudian aku langsung pingsan dipelukannya.
"Hey, kok malah pingsan sih! Aduh, gimana ini!" katanya panik, "bawa ke rumah sakit aja deh."
***
Di rumah sakit, aku telah sadar dari pingsan. Akan tetapi, kepalaku masih terasa sakit sekali. Aku bisa melihat laki-laki tadi ada di samping tempat tidurku.
"Kamu sudah sadar?" tanyanya begitu melihatku membuka mata.
Aku hanya mengangguk lemah sambil memegangi kepalaku yang masih terasa pusing.
"Kenapa? Masih pusing?" tanyanya lagi,  "biar aku panggil dokter ya."
"Tidak usah!" cegahku, "aku udah tidak apa-apa kok, hanya pusing sedikit saja."
"Ya udah kalau gitu," katanya yang tetap berdiri di samping tempat tidurku. "Aku sudah tahu kamu mempunyai penyakit apa."
Aku menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. "Lalu? Kamu kasihan sama aku?"
Laki-laki itu menghela nafasnya. "Tidak kok, aku tidak akan kasihan. Buat apa coba?" katanya sambil terkekeh, "oh iya, kitakan belum kenalan. Kenalin nama aku Rio."
Aku menatap tangannya yang diulurkan kepadaku, lalu aku menatap wajahnya. Aku tersenyum sambil membalas uluran tangannya. "Aku Via."
"Oke Via, mulai sekarang kita berteman ya. Meskipun pertemuan tadi sangat tak mengenakkan. Tak apa-apalah," katanya lagi sembari memberikan seulas senyuman. Sangat manis senyumannya itu.
Aku balas tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Kamu tidak memberi tahu keluargamu, kalau kamu masuk rumah sakit?"
Aku menghela nafas. "Tidak. Tidak perlu. Mereka tidak ada yang tahu tentang penyakitku. Biarkan saja, selain mereka memang tidak peduli denganku, aku juga tidak mau membuat mereka khawatir," ucapku sambil menunduk.
Rio terdiam. Dia hanya memandangiku yang sangat kesepian ini. Tak lama kemudian, aku merasakan ada yang memegang puncak kepalaku. Aku mendongak, dan mendapati Rio sedang menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.
"Tidak perlu cemas, aku akan selalu menemanimu," ucapnya pelan sembari tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum. Sungguh aku sangat bersyukur, dapat bertemu dengan orang sebaik Rio. Terima kasih Tuhan karena Engkau telah mengirimkan malaikat sepertinya untuk menyadarkanku. Mungkin aku bisa sedikit percaya dengan keajaiban.
***
Hari ini genap sebulan aku kenal dengan Rio. Dan hari ini juga aku berjanji dengan Rio untuk memberi tahu keluargaku tentang penyakitku. Sudah sebulan aku tidak pulang ke rumah. Tidak memberi tahu keluargaku bahwa aku ada di rumah sakit. Mungkin mereka cemas sekali karena aku tidak pulang-pulang, atau justru sebaliknya.
Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Ada apa ini? Apa jangan-jangan aku akan segera pergi dari dunia ini? Ya Tuhan, tolong sebelum Engkau mengambil nyawaku, tolong biarkan aku membahagiakan orang-orang yang aku sayang. Aku mohon Tuhan.
Aku nekad keluar dari kamar rawatku. Padahal aku tidak dibolehkan keluar dari kamar. Akan tetapi, kalau menunggu Rio pasti kelamaan. Lebih baik aku sendiri saja keluar dari kamar. Untung tidak ada suster yang melihatku keluar kamar. Aku pun segera bergegas keluar dari rumah sakit. Aku ingin cepat-cepat menemui keluargaku, sebelum aku pergi selamanya dari dunia ini.
Setibanya di luar rumah sakit, aku harus menyeberang jalan. Dengan susah payah aku menyeberangi jalan raya itu karena banyak kendaraan yang lewat. Akhirnya setelah sampai di seberang jalan, aku merasa ada yang memanggilku. Aku pun menoleh dan mencari orang yang memanggilku.
"VIA!" panggilnya.
Aku mendapati Rio ada di seberang sana. Ada di depan rumah sakit, sepertinya dia akan menjengukku.
"Ngapain di situ?" teriaknya dari seberang jalan. "Tunggu di situ! Jangan kemana-mana!" teriaknya lagi sambil berjalan menyeberangi jalan.
Akan tetapi, tiba-tiba ada mobil yang melaju sangat kencang dan akan menabrak tubuh Rio. Aku hanya bisa berdiri mematung melihatnya. Apalagi saat mobil itu benar-benar menabrak tubuh Rio.
"RIOOOOO!" teriakku yang langsung berlari mendatangi tubuh Rio yang tergeletak di aspal dengan berlumuran darah. "Rio! Jangan tinggalin aku, aku mohon!"
"...Maaf Via. Ternyata... aku yang mesti pergi duluan dari... dunia ini. Maafkan aku, tidak bisa menemani kamu lagi."
"Tidak Yo, kamu pasti bisa bertahan!" kataku sambil memegangi kepala Rio. Air mata telah mengalir deras membasahi pipiku.
“Maaf Vi, aku tidak bisa. Takdir berkata lain. Aku harus pergi duluan dari kamu, Vi."
"Tapi... seharusnya aku duluan yang pergi, Yo! Bukan kamu! Kamu sangat sehat, sedangkan aku... seharusnya aku duluan yang pergi!"
"Tidak selalu orang yang sehat akan hidup lebih lama daripada orang yang mempunyai penyakit mematikan! Tidak ada yang tahu, kapan kita meninggal. Dan sekarang, takdirku mesti pergi duluan."
"Tapi Rio..."
"Vi, kamu harus janji. Pergunakanlah waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Dibalik semua ini, Tuhan pasti memberikan yang terbaik untukmu. Kamu harus bisa hidup sebaik-baiknya sebelum kamu benar-benar pergi dari dunia ini. Berjuanglah melawan penyakitmu! Aku yakin kamu pasti bisa! Agar kamu bisa membahagiakan orang-orang yang kamu sayangi dan menyayangimu! Kamu janji ya!"
"...Iya Yo, aku janji! Aku akan pergunakan waktu sebaik-baiknya," ucapku disela isakan tangis.
Rio tersenyum. Lalu perlahan demi perlahan, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tambah menangis melihat Rio telah tiada dari dunia ini.
***
Aku memandangi gundukan tanah yang masih basah itu. Makam Rio. Aku sudah tidak bisa menangis lagi. Air mataku telah habis.
Aku janji Yo, aku akan pergunakan hidupku di dunia ini dengan sebaik mungkin, sebelum aku benar-benar pergi dari dunia ini, menyusulmu. Terima kasih Yo, kamu pernah ada dalam hidupku. Kamu telah menyadarkanku, betapa berartinya hidup ini. Kamu bagaikan malaikat yang Tuhan kirimkan untukku. Dan sekarang aku yakin, Tuhan pasti memberikan yang terbaik untukku.
Aku tersenyum menatap makam Rio. Aku pun berdiri, bermaksud untuk pulang dan menemui keluargaku. Akan tetapi, saat aku mau melangkah pergi dari makam Rio, aku melihat ibu, ayah, dan kakakku. Aku terpaku sesaat melihat mereka di sini. Dari mana mereka tau aku ada di sini? Aku bisa melihat Ibu mendekatiku. Memelukku dengan penuh kasih sayang. Ayah dan Kakak juga mendekat dan memelukku hangat. Sungguh aku ingin menangis detik itu juga. Aku sangat merindukan pelukan mereka, tapi aku sudah tak pernah merasakannya lagi beberapa tahun ini.
"Kenapa... kalian bisa ada di sini?" tanyaku disela isak tangis.
"Kita tahu kamu ada di sini dari..." Ayah tak meneruskan kata-katanya, dia mengalihkan pandangan dariku dan menatap makam Rio, "...dari anak laki-laki itu."
Jantungku terasa mencelos. Tangisku semakin menjadi-jadi. Bagaimana bisa... Rio memberi tahu keluargaku?
"Sayang, sebelum dia datang ke rumah sakit, dan sebelum kecelakaan itu terjadi, dia menemui kami, Via," ucap Ibu memperjelas sambil mengelus lembut rambutku yang tinggal sedikit.
"A... Apa?" aku sangat tidak menyangka mendengar itu.
"Dia bilang, tentang keadaan kamu, tentang penyakit kamu," kata Kak Septian, kakakku.
"Dia menyadarkan Ayah dan Ibu, Via. Seharusnya kami tidak menelantarkan kamu dan Septian. Maafkan Ayah dan Ibu sayang," ucap Ayah menyesal sekali.
"Sayang, kenapa kamu tidak bilang tentang penyakit itu? Ibu khawatir sekali, sayang," ucap Ibu sambil memelukku erat.
"Maafkan Kakak juga, Via. Kakak salah. Kakak malah meninggalkanmu sendirian," ucap Kak Septian.
"...Aku yang seharusnya minta maaf karena aku pergi begitu saja dari rumah, tidak memberi kabar pada kalian. Maaf," ucapku disela isak tangis.
"Tidak sayang, kami yang salah. Anak laki-laki itu telah menyadarkan kami. Kalau tidak ada dia, mungkin kami tidak akan sadar," ucap Ayah sembari mengelus lembut rambutku. "Sekarang kita mulai semuanya dari nol ya, kita bangun keluarga ini menjadi keluarga bahagia."
Aku menyeka air mataku, lalu tersenyum simpul. Aku senang, akhirnya keluargaku menyadarinya dan ingin memulai semuanya dari awal.
Aku menatap makam Rio, lalu menatap langit biru yang begitu luas sambil tersenyum. Rio, kau benar-benar malaikat. Kau tidak hanya menyadarkanku, kau juga menyadarkan keluargaku. Terima kasih Rio, atas segala kebaikan yang telah kau lakukan untukku. Sekarang aku percaya dengan keajaiban itu. Mungkin memang keajaiban itu tidak akan bisa menyembuhkan penyakitku, tapi setidaknya keajaiban itu telah mengubah diriku dan keluargaku. Menyadarkan kami, melalui dirimu Rio.
Sekarang, aku akan berusaha membahagiakan orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Aku tidak mau membuat mereka kecewa. Aku akan menghabiskan sisa waktuku di dunia ini dengan melakukan yang terbaik. Untuk bagian dirimu juga Rio. Aku janji.
Segala yang ada di dunia ini, semuanya akan kembali kepada-Nya. tak ada yang tahu kapan tiba saatnya itu. Sampai tiba saatnya, kita harus melakukan segala yang terbaik, agar tiada penyesalan nantinya. Meski banyak cobaan dalam hidup ini, tapi percayalah Tuhan memberikannya karena Dia menyayangi umat-Nya. Pasti ada hikmah dibalik semua itu. Pasti Tuhan memberikan yang terbaik untuk siapapun umat-Nya. Aku percaya itu.



*Dibukukan dalam buku antologi berjudul Teen's Life

Tidak ada komentar:

Posting Komentar